Otonomi Ibu dalam Praktik Pemberian Makan yang Baik pada Baduta

Ibu Sedang Mendekap Bayi

Pemerintah Indonesia tengah gencar menyuarakan Indonesia Emas 2045. Indonesia Emas 2045 merupakan upaya untuk membangun generasi emas dalam menyiapkan suatu generasi penerus bangsa Indonesia pada 100 tahun emas Indonesia merdeka antara tahun 1945 sampai tahun 2045. Momentum tersebut harus dipersiapkan sebaik mungkin, terutama dalam hal modal manusia. Indonesia harus mempersiapkan berbagai aspek kualitas modal manusia yang unggul sedini mungkin seperti peningkatan status kesehatan, penurunan angka kematian bayi, dan peningkatan status gizi anak-anak. Namun demikian, mempersiapkan generasi emas 2045 bukan hal mudah. Stunting di Indonesia masih menjadi masalah gizi utama bagi bayi dan baduta. Hasil dari Survei Status Gizi Balita Indonesia (SSGBI) pada tahun 2019 menunjukkan angka stunting berada pada 27,67 persen. Berdasarkan SSGBI tahun 2022 angka stunting turun menjadi 21,6 persen. Meskipun menurun, angka ini masih lebih tinggi dari target WHO yang tidak boleh melebihi 20 persen dan target pemerintah Indonesia sebesar 14 persen pada tahun 2024.  

Masalah stunting ini dapat menjadi faktor penghambat pembangunan nasional. Kurangnya asupan gizi pada periode usia bayi dan baduta dapat mengakibatkan gangguan kesehatan yang bersifat permanen dan tidak dapat diperbaiki. Berbagai gangguan dalam jangka pendek seperti gangguan perkembangan otak, pertumbuhan, dan metabolisme akan terbawa dalam jangka panjang seperti gangguan kemampuan kognitif, stunting (pendek), dan penyakit kronik (hipertensi, diabetes, dan stroke). Dengan demikian, investasi gizi memiliki peran penting dalam pemutus kejadian kurang gizi sebagai upaya peningkatan kualitas SDM di Indonesia. 

Pola asuh anak merupakan salah satu faktor yang memengaruhi status gizi. Dalam periode usia 6-23 bulan (baduta), pola asuh yang sangat menentukan status gizi anak adalah praktik pemberian makanan pendamping ASI (MPASI). Menurut WHO, praktik pemberian MPASI bagi anak usia 6-23 bulan harus memadai dalam hal kuantitas dan kualitas. Hal ini disebabkan usia 6-23 bulan termasuk dalam periode kritis (critical windows period) dalam siklus hidup manusia. Pada usia tersebut kebutuhan terhadap berbagai zat gizi semakin meningkat dan tidak lagi dapat dipenuhi hanya dari ASI saja. Pada tahap ini anak berada pada periode pertumbuhan dan perkembangan cepat, mulai terpapar terhadap infeksi dan secara fisik mulai aktif, sehingga kebutuhan terhadap zat gizi harus terpenuhi.

Praktik Pemberian MPASI

Menurut WHO (2001), terdapat 3 hal yang perlu diperhatikan dalam pemberian MPASI yaitu:

  • Minimal Keragaman Makanan

MPASI sebaiknya terbuat dari tujuh kelompok makanan yaity makanan yang terbuat dari umbi-umbian dan biji -bijian; kacang-kacangan; susu dan produk olahannya; daging-dagingan antara lain daging, unggas, ikan, kerang, juga daging organ; telur; sayuran dan buah-buahan kaya vitamin A; serta sayuran dan buah-buahan lainnya. Makanan yang dibuat dari tiap kelompok makanan tersebut menyediakan gizi yang baik untuk memenuhi gizi harian yang dibutuhkan untuk pertumbuhan dan perkembangan anak usia 6-23 bulan. Seorang anak dianggap memperoleh minimal keragaman makanan jika ia mengkonsumsi sejumlah makanan pendamping yang terbuat dari empat atau lebih kelompok makanan. 

  • Frekuensi Minimal Makanan

Anak usia 6-23 bulan perlu mendapat makanan lebih sering karena mereka tidak dapat mengonsumsi jumlah makanan yang besar dalam satu kali makan. WHO merekomendasikan bayi usia 6-8 bulan yang masih mendapatkan ASI sebaiknya mengonsumsi MPASI minimal dua kali per hari sementara untuk anak usia 9-23 memerlukan MPASI paling tidak tiga kali per hari. Untuk anak yang tidak mendapatkan ASI yang berusia 6-23 bulan, perlu mendapatkan MPASI minimal 4 kali per hari. Anak yang masih mendapatkan ASI memperoleh energi ekstra dari ASI sehingga membutuhkan asupan kalori yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang tidak lagi mendapatkan ASI pada usia yang sama.

  • Minimum diet yang diterima

Minimal makanan yang diterima merupakan indikator lain yang direkomendasikan oleh WHO untuk mengukur kuantitas dan kualitas MPASI yang diberikan baik pada anak yang masih mendapatkan ASI maupun yang sudah tidak mendapatkan ASI. Indikator ini merupakan komposit indikator yang meliputi proporsi anak usia 6-23 bulan yang memperoleh minimal keragaman makanan dan minimal frekuensi makanan selama 24 jam terakhir.

WHO dalam Global Strategy for Feeding Infant and Young Children (2003) merekomendasikan agar pemberian MPASI memenuhi 4 syarat, yaitu:

Timely 

(Tepat Waktu)

Adequate 

(Kecukupan)

Safe 

(Aman)

Properly Fed

(Diberikan dengan Cara yang Layak)

·        Diperkenalkan saat menginjak usia 6 bulan dimana ASI eksklusif sudah tidak memenuhi kebutuhan nutrisi anak

·        Pemberian ASI tetap dianjurkan

·        MPASI harus mencukupi kebutuhan energi anak, protein, dan nutrisi mikro yang dapat memenuhi tumbuh kembang anak ·        MPASI disimpan dan disiapkan secara higienis, diberikan dengan tangan dan peralatan makan yang bersih dan bukan botol atau dot. ·        Diberikan dengan memperhatikan sinyal rasa lapar dan kenyang anak. 

·        Frekuensi dan metode pemberian makan secara aktif mendorong anak untuk mengonsumsi makanan dengan menggunakan tangan, sendok, atau makan sendiri dalam jumlah yang cukup sesuai tahap usia.

Dalam upaya pemenuhan kebutuhan MPASI yang bernutrisi tinggi, kita tidak harus selalu terpaku pada bahan pangan yang mahal dan mewah. Pemenuhan kebutuhan MPASI bisa diperoleh dari bahan pangan lokal yang tersedia di setiap daerah. Misal di daerah laut kaya akan ikan atau hewan laut dan daerah dataran tinggi kaya akan hasil sayur dan  buah-buahan. Tetapi yang perlu diperhatikan selain ketersediaannya juga keanekaragaman bahan pangannya. Kecukupan konsumsi pangan yang beragam dan bergizi akan memenuhi kebutuhan gizi  dan  menjadi strategi yang efektif dalam upaya pencegahan stunting.

 

Otonomi Ibu

            Pola asuh melalui praktik pemberian MPASI yang baik sangat erat kaitannya dengan kondisi dan situasi yang dihadapi ibu dalam rumah tangga. Seorang ibu dapat berperan dalam pencegahan stunting jika memiliki otonomi dalam keluarga. Ibu yang mempunyai otonomi dalam keputusan rumah tangga adalah perempuan yang membuat keputusan rumah tangga sendirian tanpa ada satupun pihak lain yang terlibat dalam membuat keputusan rumah tangga. Otonomi ibu yang dilihat dari akses serta kontrol terhadap sumber daya menentukan sebagian besar pengasuhan yang dapat diberikan terhadap anaknya yang akan memengaruhi status gizi anak melalui ketersediaan makanan, pengasuhan anak, perwujudan lingkungan sehat, dan pemanfaatan pelayanan kesehatan.

            Berdasarkan publikasi Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia (SDKI) tahun 2017, praktik pemberian MPASI untuk anak usia 6-23 bulan masih rendah di mana ibu yang melakukan PPMBA sesuai yang direkomendasikan WHO (dari minimal keragaman makanan, frekuensi minimal makan, dan minimal diet makanan yang diterima anak) hanya sebesar 40,3 persen. Angka ini sudah mengalami peningkatan dibandingkan hasil SDKI tahun 2012 dimana praktik pemberian MPASI sesuai rekomendasi baru mencapai 37 persen. Ibu yang memiliki anak usia 6-23 bulan sebaiknya memahami bahwa pola pemberian MPASI secara seimbang akan berpengaruh terhadap selera makan anak selanjutnya, sehingga pengenalan kepada makanan yang beranekaragam dalam proporsi seimbang menjadi sangat penting. 

Berbagai studi empiris menemukan bahwa terdapat pengaruh yang signifikan dari otonomi ibu dalam rumah tangga terhadap praktik pemberian MPASI. Hubungan antara otonomi ibu dan praktik pemberian MPASI bersifat positif. Apabila ibu memiliki otonomi yang tinggi dalam rumah tangga, maka akan semakin memadai praktik pemberian MPASI yang diberikan. Ibu dengan otonomi tinggi memiliki kebebasan untuk membuat keputusan (baik keputusan ekonomi, keputusan yang berhubungan dengan anak, maupun keputusan yang berhubungan dengan pernikahan), memperoleh izin dalam bepergian, dan bebas dari perasaan takut akan kekerasan dalam rumah tangga sehingga ibu dapat mengakses lebih luas sumber daya yang tersedia dalam rumah tangga maupun lingkungan sekitar. Sumber daya tersebut yang akan ditransformasikan menjadi praktik pola asuh makan anak. 

Ibu yang memiliki kebebasan untuk bepergian sendiri ke pasar memiliki kemampuan untuk membeli atau memengaruhi belanja rumah tangga termasuk makanan yang layak. Kondisi pasar juga menyediakan kesempatan untuk berinteraksi dengan orang-orang di luar keluarga dan tetangga dekat. Hal ini memungkinkan pertukaran informasi yang membantu ibu meningkatkan pengetahuan dan saran yang bermanfaat untuk pengasuhan, pemberian makan, atau saran mengenai gizi untuk kesehatan anak.

Dalam hal pengambilan keputusan dalam rumah tangga, ibu yang memiliki keterlibatan dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga lebih cenderung memberikan MPASI sesuai frekuensi dan variasi yang direkomendasikan. Hal ini dikarenakan ibu yang terlibat dalam pengambilan keputusan dalam rumah tangga dapat mengalokasikan pendapatan untuk membeli bahan makanan yang beranekaragam dengan jumlah yang memadai.

Ibu yang memiliki otonomi juga lebih menyadari hak dan kewajiban yang dimilikinya. Kewajiban atau beban pengasuhan anak, termasuk dalam hal pemberian MPASI, bukan hanya tugas ibu. Ayah dan ibu memiliki peran yang sama dalam pengasuhan. Ketika anak memasuki waktu konsumi MPASI, ayah dapat membantu ibu untuk mencari informasi, membuat, juga memberikan MPASI ke anak. Dengan demikian, ibu tidak terlalu lelah dalam mengasuh anak dan tumbuh kembang anak lebih optimal. 

Umumnya otonomi meningkat seiring dengan peningkatan pendidikan maupun kemampuan ibu untuk menghasilkan sumber daya keuangan bagi rumah tangga. Pendidikan dan kemampuan ibu memperoleh sumber daya keuangan menjadi sarana efektif dalam mengupayakan kesehatan anak, terutama dalam pemberian konsumsi makanan yang sehat. Dengan demikian, diperlukan adanya berbagai program yang sinergis dalam penanggulangan stunting untuk generasi anak Indonesia yang lebih baik, seperti peningkatan pendidikan dan kesempatan wanita memasuki pasar kerja.

Daftar Pustaka

  1. Anggraeni, Feny Nur (2015). Pengaruh Otonomi Ibu Terhadap Praktik Pemberian Makan Bayi dan Anak (PPMBA) Usia 6-23 Bulan di Indonesia (Analisis Data SDKI 2012). Tesis di Program Pascasarjana Kajian Kependudukan dan Ketenagakerjaan Universitas Indonesia.
  2. Saputra, Muda (2003). Faktor yang Mempengaruhi Otonomi Perempuan Dalam Pengambilan Keputusan Rumah Tangga. Tesis di Program Kajian Kependudukan dan Sumber Daya Manusia Universitas Indonesia. 
  3. BKKBN, BPS, Kementerian Kesehatan (2017). Survei Demografi dan Kesehatan Indonesia 2017. Jakarta 
  4. WHO (2003). Global Strategy for Feeding Infant and Young Children. Geneva 

Profil Penulis,

Profil Penulis Feny Nur Anggraeni

 

 

 

Feny Nur Anggraeni, S.Sos, M.Si
Penata Kependudukan dan Keluarga Berencana Ahli Muda


Tulisan ini merupakan artikel terpilih dalam Ajakan Menulis Artikel Orang Tua Hebat dengan tema “Praktik Pembiasaan Pemberian Makanan yang Baik dan Sehat pada Baduta” yang diselenggarakan oleh Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN (2023).

 

Bagaimana Reaksi anda Tentang Konten Ini?
+1
1
+1
1
+1
0
Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Newsletter Subscribe

Dapatkan Update Terbaru Kami Melalui Email

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x