Belajar dari Ibu AK: Waspada Global Development Delay (GDD) Akibat Kecanduan YouTube

Saat usia satu tahunan, kontak mata kurang. Kalau dipanggil tidak respon, dan tidak bisa berkomunikasi, Mba. Tapi kalau dilihat orang umum mungkin biasa saja… malah terlihat nakal”

 

Di satu pagi, ketika mengunjungi sebuah posyandu di salah satu RW kelurahan binaan saya, seorang ibu (Ibu AK) mengeluhkan nyeri pada lengan dimana KB implan dipasangkan. Setelah ditanyakan, nyeri tersebut muncul akibat senggolan dari anak keduanya usia 4 tahun yang saat itu sedang tantrum. Usut punya usut, ternyata sang anak sedang mendapatkan terapi GDD (Global Development Delay) di salah satu RS swasta di Kota Surakarta.

 

GDD di Indonesia disebut dengan keterlambatan perkembangan keseluruhan. Seorang anak dinyatakan mengalami GDD jika mengalami keterlambatan perkembangan pada dua atau lebih aspek perkembangan. Aspek-aspek tersebut diantaranya adalah aspek motorik, bicara dan berbahasa, kognitif, dan sosial dan emosional.

 

Menurut pengakuan beliau, penyebab utama GDD yang anaknya alami adalah karena mulai memberikan tontonan YouTube melalui TV sejak usia 6 bulan. Beliau mengaku memang tidak melakukan pendampingan kepada anaknya saat menonton. Beliau sengaja memberikan tontonan cartoon agar anteng. Pengakuan beliau, anaknya bisa menonton dalam jangka waktu yang lama. Bahkan anaknya bisa sampai tidur di jam subuh karena kurang aktivitas fisik di luar rumah.

 

Dia ndak tidur pasti lihat YouTube, Mba…”

 

Kebiasaan yang Ibu AK merupakan salah satu fenomena yang terjadi diantara orang tua Asia Tenggara. Penelitian The Asian Parent Insights menunjukkan bahwa dari 2.714 orang tua Asia Tenggara pada tahun 2014, ada 98% orang tua yang mengizinkan anaknya (usia 3-8 tahun) untuk mengakses teknologi. Teknologi tersebut diantaranya berupa smartphone, komputer, maupun tabet. Orang tua pada penelitian tersebut berasal dari 5 negara termasuk Indonesia. Awalnya niat orang tua memperbolehkan anaknya menggunakan gadget untuk tujuan edukasi, kenyataannya sebagian besar anak-anak mereka menggunakannya untuk tujuan hiburan seperti game.

 

Dalam kronologinya, anak ibu AK juga tidak segera mengetahui masalah tumbuh kembang yang anaknya alami karena keterbatasan pengetahuan dan pengalaman. Ditambah,  awalnya suami beliau menolak melakukan terapi dan denial bahwa anak mereka mengalami gangguan perkembangan. Ibu AK baru membawa anaknya ke dokter saat anaknya sudah berumur 2 tahun dan dana mandiri. Sebelumnya ibu AK tidak mengetahui kalau penanganan GDD dapat menggunakan BPJS. Akan tetapi, karena tidak menggunakan BPJS, terpaksa terputus karena biaya. Selanjutnya, setelah ibu AK menyelesaikan administrasi BPJS, anak kembali dibawa terapi 4 bulan terakhir ini.

 

GDD sebenarnya tidak serta merta hanya disebabkan oleh kecanduan gadget. GDD dapat disebabkan karena lahir prematur, ada gangguan kehamilan dan saat persalinan, kondisi genetik, dan lainnya. Akan tetapi, ketika ibu AK ditanyakan tentang riwayat kehamilan sampai anak keduanya lahir, beliau mengaku tidak pernah ada  masalah kesehatan. Selama masa itu justru perkembangan anaknya bagus. Beliau menekankan bahwa hanya ada masalah perkembangan setelah kecanduan YouTube tadi.

 

Terapi yang diikuti awalnya okupasi yang kemudian disusul terapi wicara sampai saat ini. Bentuk terapinya berupa terapi fisik dam obat. Jadwal terapinya setiap sekali seminggu, kontrol dokter dan obat sekali sebulan, evaluasi terapi dan protokol terapi baru setiap sekali 2 bulan. Setiap 4 kali terapi dilakukan evaluasi lalu jeda 1 minggu, lalu diikuti protokol baru. Setiap rujukan habis ada jeda 1 minggu. Setiap hari anak harus minum obat perbaikan perilaku dan vitamin otak. Untuk pembiayaan beliau menggunakan BPJS. Meski begitu, terdapat obat yang tidak dicover. Meski sudah mengalami perkembangan setelah terapi, masa terapi belum bisa dipastikan kapan dapat selesai.

 

“Akhir 2022 baru bisa lepas tanpa YouTube. Susah Mba… anak rewel juga nda isa lepas dari mamahe”

 

Saat ditanyakan terkait perlakuan yang perlu dilakukan selama terapi kepada anak saat di rumah, beliau menjeaskan bahwa obat yang diberikan harus rutin, memastikan anak tidak mengakses YouTube lagi dan harus tegas mengatakan pada anak apa  yang boleh dan tidak boleh. Beliau juga memaparkan bahwa ia sangat kesulitan untuk melepas anaknya dari YouTube. Proses lepas dari YouTube tersebut dapat tercapai dengan cara beliau benar-benar harus bisa meluangkan waktu penuh buat anaknya. Beliau mengaku harus berada di samping anaknya terus tanpa YouTube, juga harus kuat jika anak sedang rewel,

 

 

Terakhir, Ibu AK memberikan pesan kepada orang tua hebat, supaya bijak menggunakan gadget dan medsos kepada anak. “Meskipun membuat anak anteng, nggak rewel, tapi itu awal dari masalah dan bisa menggangu tumbuh kembangnya. Jadi mempengaruhi emosi dan perilaku anak.” Demikian kisah dan pesan ibu AK, semoga bermanfaat bagi orang tua hebat sekalian!

 

Sumber:

  1. https://www.researchgate.net/publication/322828957_Pendampingan_Orang_Tua_pada_Anak_Usia_Dini_dalam_Penggunaan_Teknologi_Digital_Parent_Mentoring_of_Young_Children_in_the_Use_of_Digital_Technology
  2. https://hellosehat.com/parenting/kesehatan-anak/gangguan-perkembangan/global-developmental-delay/

 

Profil Penulis

Nurcahaya Sihombing, SKM
PKB Ahli Pertama Provinsi Jawa Barat
___

Tulisan ini merupakan artikel terpilih dalam Ajakan Menulis Artikel Orang Tua Hebat dengan tema “Internet Aman Bagi Si Kecil” yang diselenggarakan oleh  Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN (2023).

Bagaimana Reaksi anda Tentang Konten Ini?
+1
3
+1
0
+1
0
Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Newsletter Subscribe

Dapatkan Update Terbaru Kami Melalui Email

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x