Regulasi Emosi dan Mindful Parenting, Meminimalisir Stress pada Ibu Bekerja

Keluarga merupakan fondasi pertama bagi perkembangan kepribadian dan tingkah laku anak. Anak dapat berkembang dengan optimal dan tumbuh menjadi individu yang berguna bagi sesama, salah satunya ditentukan oleh keberhasilan orangtua dalam mengasuh anak. Artinya, ketidaktahuan orangtua dalam mendidik dan mengasuh anak dengan baik dapat mengakibatkan anak tumbuh menjadi pribadi yang lemah dan kesulitan dalam bersosialisasi di masyarakat. Selanjutnya, di dalam budaya masyarakat Indonesia, bahwa tanggung jawab pengasuhan anak pada umumnya lebih banyak dibebankan kepada ibu. 

Peran ibu memiliki pengaruh besar dalam keluarga, karena ibu merupakan figur utama dan pertama yang dikenal anak sejak ia dilahirkan. Oleh sebab itu, ibu menempati posisi kunci dalam proses mengasuh dan mendidik anak. Meski di sisi lain, sebagian dari ibu di era yang semakin modern dan kebutuhan ekonomi yang semakin meningkat pada saat ini akhirnya membuat mereka juga mengambil pilihan untuk bekerja demi memenuhi tuntutan hidup. Ibu dengan peran ganda sering dikenal dengan istilah ibu bekerja. Menurut Vureen (Apreviadizy & Puspitacandri, 2014), ibu yang bekerja ialah ibu yang selain mengurus rumah tangga juga memiliki tanggung jawab di luar rumah, baik di kantor, yayasan, atau wiraswasta dengan kisaran waktu tidak banyak digunakan untuk keluarga (Munandar, dalam Apreviadizy & Puspitacandri, 2014). Sebaliknya, ibu yang tidak bekerja adalah ibu yang tinggal di rumah dan cenderung melakukan tugas rumah tangga dalam kehidupan sehari-harinya. Artinya, ibu dengan peran ganda adalah ibu yang mana waktu dan tanggung jawabnya tidak hanya untuk mengurus pekerjaan rumah dan mengasuh anak, namun juga ditambah dengan beban tugas di tempatnya bekerja.

Pada komponen orangtua, kesehatan fisik, mental dan emosi orangtua yang kurang baik dapat mendorong timbulnya stres. Ibu bekerja yang memiliki anak dimungkinkan memiliki parenting stress yang lebih tinggi dari pada ibu rumah tangga saja. Hal ini disebabkan karena tuntutan waktu, pikiran dan tenaga yang ekstra pada ibu dalam menjalankan kedua peran yang diembannya. Pada komponen anak juga dapat memicu parenting stress, misalnya kemampuan anak beradaptasi yang rendah, kurang penerimaan terhadap orangtua, suka menuntut atau menyusahkan, suasana hati yang buruk, mengalami kekacauan pikiran, dan kurang memiliki kemampuan untuk memperkuat orangtua. Adapun komponen relasi orangtua-anak yang dapat memicu parenting stress adalah derajat konflik yang muncul dalam interaksi orangtua anak. Dengan demikian, ketiga komponen tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kemerosotan kualitas dan efektivitas perilaku pengasuhan (Lestari, 2018). 

Ibu yang mengalami stres akan berdampak pada pengasuhan seperti berkata kasar, bersikap keras, tidak memberikan kasih sayang kepada anak, mengabaikan anak, menghukum anak. Hal tersebut merupakan pelampiasan emosi negatif dari tekanan yang dialami oleh ibu yang bekerja. Sementara luapan emosi negatif tersebut akan berdampak pada kesehatan fisik maupun psikis anak. Misalnya anak menjadi tertekan, terluka, bahkan sampai mengalami kematian. Oleh karena itu, keterampilan mengelola emosi atau regulasi emosi yang baik perlu dimiliki oleh ibu yang bekerja.  

Regulasi emosi sendiri dijelaskan oleh Gross (1998) sebagai cara individu mengatur, merasakan atau mengekpresikan emosi yang mereka miliki. Gross dan Thompson (2007) mendefinisikan regulasi emosi sebagai proses pengenalan, pemeliharaan, dan pengaturan emosi yang terjadi secara langsung atau dikontrol, disadari atau tidak disadari. Menurut Thompson (dalam Garnefski, Kraaij, & Spinhoven, 2001).

Regulasi emosi yang dimaksud adalah ibu yang bekerja mampu mengatur, merasakan dan mengespresikan emosi dalam mengasuh anaknya. Individu yang mampu meregulasi emosi dengan baik dapat mendatangkan kebahagiaan bagi diri mereka sendiri. Hal ini didukung oleh pendapat Mappiare (2003), yang menyatakan bahwa kebiasaan dalam meregulasi emosi mampu mendatangkan kebahagiaan dan kondisi psikis yang sehat bagi individu. Ketika ibu yang bekerja mampu mengelola emosi dengan baik, maka akan berdampak pada proses pengasuhan anaknya, salah satunya terhindar dari parenting stress. 

Gross dan John (2003) menjelaskan bentuk besar strategi regulasi emosi, yaitu strategi regulasi emosi awal (antecedent-focused emotion regulation strategy) dan strategi regulasi emosi akhir (response-focused emotion regulation strategy). Model Gross dan John dapat dilihat pada gambar 1

Strategi regulasi awal (antecedent-focused emotion regulation strategy) terdiri dari proses seleksi situasi, modifikasi situasi, penyebaran perhatian dan pengubahan kognitif. Bentuk dari strategi ini adalah reappraisal yang merupakan strategi kognitif dimana individu mampu berfikir positif terhadap berbagai situasi yang dihadapinya. Emosi merupakan salah satu keadaan efek selain stres, mood dan impuls, ketika seseorang mampu menilai kembali secara positif stimulus atau situasi yang sedang terjadi pada dirinya, dan hal tersebut juga akan meningkatkan afek positif pada dirinya. Dengan demikian dapat diasumsikan bahwa penilaian kembali secara kognitif (reappraisal) dapat menimbulkan emosi yang positif pada seseorang. Hal ini dapat membantu individu tetap merasa tenang dalam segala situasi, terutama situasi yang buruk atau tidak menyenangkan (Gross & John, 2003; Gross & Thompson, 2007). 

Kedua, strategi regulasi emosi akhir (response-focused emotion regulation strategy) merupakan proses modulasi respon. Bentuk strategi ini adalah expression suppression dimana individu berusaha mengontrol dan menekan respon emosi yang tidak dapat diterima. Contohnya, ketika individu dihadapkan pada situasi yang tidak menyenangkan, maka individu akan diam saja atau menekan emosi tanpa mengubah pikiran negatif terhadap situasi tersebut (Gross & John, 2003).

Peran ganda yang dialami oleh ibu bekerja, dimana ibu memiliki tugas untuk mengurus anak, tugas rumah dan tugas kerja dapat menimbulkan kelelahan secara fisik maupun emosional yang dapat menyebabkan parenting stress. Hal tersebut dapat diminimalisir dengan cara meningkatkan keterampilan regulasi emosi. Individu yang memiliki keterampilan regulasi emosi yang baik, akan mampu menyeleksi situasi, memodifikasi situasi, dan fokus pada penyelesaian masalah, serta berpikir positif terhadap masalah yang sedang dihadapi (Gross & John, 2003). Begitupula, ibu bekerja yang memiliki ketrampilan regulasi emosi yang baik mampu berpikir positif, tetap tenang dalam segala situasi, mampu memilih atau mengubah situasi agar menjadi lebih nyaman, dengan demikian ibu bekerja dapat terhindar dari stres dalam mengasuh anaknya. Sebaliknya, jika ibu bekerja memiliki keterampilan regulasi yang buruk, seperti merasa terbebani dengan tugas yang besar, tidak mampu berpikir positif, menilai situasi yang dialami sebagai suatu masalah besar, maka hal tersebut dapat memicu parenting stress yang tinggi pada ibu bekerja, dan berdampak pada pola pengasuhan, diantaranya menyakiti anak. Seperti yang disampaikan Hidayati (2013) melalui penelitiannya, bahwa pendampingan regulasi emosi dapat menurunkan maltreatment fisik yaitu perilaku mencubit ibu yang memiliki anak GPP/H.

Untuk menurunkan kondisi stres yang dialami orang tua di dalam pengasuhan perlu adanya pelatihan dan kesadaran dari dalam diri orang tua. Kesadaran di dalam diri orang tua dapat dilatih dan dipahami melalui pola pengasuhan yang dilakukan dengan penuh kesadaran secara terus menerus yang dinamakan mindful parenting. Melalui dimensi mindful parenting yang terdiri dari: mendengarkan dengan penuh perhatian, tidak menghakimi, sabar, bijaksana, serta welas asih, orang tua ia harapkan dapat membangun komunikasi yang efektif untuk menciptakan pengasuhan positif (Duncan, L. G., Coatsworth, J. D., & Greenberg, 2009). Berdasarkan hal tersebut, peneliti tertarik untuk mengetahui sejauh mana pengaruh mindful parenting terhadap parenting stress orang tua khususnya pada ibu yang bekerja.

Ibu yang menerapkan mindful parenting akan mampu mengenali tingkat stres nya yang meningkat sehingga dengan begitu reaktivitas lebih meningkat dan dapat mempengaruhi interaksinya dengan anak, hal ini membuat ibu menjadi lebih dapat mengatasi stres yang dialaminya. Dengan demikian, maka stres pengasuhan yang dialami oleh orangtua akan menjadi lebih rendah. (Campbell, D.T.,& Stanley, 1966); (McCaffrey, S., Reitman, D., & Black, 2016).

Ibu-ibu bekerja disarankan untuk dapat lebih menyadari pengasuhan yang dilakukan pada anak-anaknya dengan cara menyesuaikan dengan tujuan pengasuhan, memahami kebutuhan anak sesuai dengan usianya serta mengelola harapan diri yang disesuaikan dengan kemampuan dan karakteristik anak sehingga dapat menurunkan stres yang dirasakan dalam menjalani peran pengasuhan. Selain itu, ibu bekerja yang melakukan pengasuhan terhadap anak, perlu lebih mengenali emosi dan menerima emosi yang dirasakan terutama ketika mendapati banyaknya tugas dalam pekerjaan dan tugas sebagai seorang ibu yang perlu dilakukan sehingga dapat mengelola emosi yang dirasakan. Lebih jauh lagi, ibu bekerja perlu belajar untuk mengamati dan memahami emosi yang dirasakan oleh anak sehingga dapat membantu anak dalam mengelola emosi yang dirasakan anak yang akan berimbas juga pada emosi yang dirasakan olehnya.

REFERENSI

Apreviadizy, P., & Puspitacandri, A. (2014). Perbedaan stres ditinjau dari ibu bekerja dan ibu tidak bekerja. Jurnal Psikologi Tabularasa, 9(1), 58–65. https://media.neliti.com/ media/publications/127612-ID-perbedaan-stres-ditinjau-dari-ibu-bekerja.pdf.

Campbell, D.T.,& Stanley, J. . (1966). Experimental&Quasi experimental Design for Research. Rand MacNally College Publishing Company.

Duncan, L. G., Coatsworth, J. D., & Greenberg, M. T. (2009). A Model of Mindful Parenting: Implications for Parent-Child Relationships and Prevention Research. Clin Child Fam Psychol Rev.

Garnefski, N., Kraaij, V., & Spinhoven, P. (2001). Negative life events, cognitive emotion regulation and emotional problems. In Personality and Individual Differences (pp.1311_1327).file:///C:/Users/asus/Downloads/1887_14275Garnefski,_Kraaij&%3B_ Spinhoven1.pdf.

Gross, J. J. (1998). Antecedent-and response-focused emotion regulation: Divergent consequences for experiences, expression, and physiology. Journal of Personality and Social Psychology, 74(1), 224–237. https://sci-hub.se/10.1037//0022-3514.74.1.224. 

Gross, J. J., & John, O. P. (2003). Individual differences in two emotion regulation processes: Implications for affect, relationship, and well-being. Journal of Personality and SocialPsychology,85(2),348–362.https://sci-hub.se/https://doi.org/10.1037/0022- 3514.85.2.348

Gross, J. J., & Thompson, R. A. (2007). Emotion regulation: Conceptual foundations. In J. J. Gross (Ed.), Handbook of Emotion Regulation. New York: Guilford Press.

Hidayati, E. (2013). Peran pendampingan regulasi emosi terhadap perilaku maltreatment pada ibu dari anak GPP/H. Humanitas, 10(2). file:///C:/Users/asus/Downloads/337- 368-1-PB.pdf.

Mappiare, A. (2003). Psikologi remaja. Surabaya: Usaha Nasional.

Nurul Fadma Isnaini, S.Pd

PKB PPPK Kab. Lombok Barat

Perwakilan BKKBN Provinsi Nusa Tenggara Barat

___

Tulisan ini merupakan artikel terpilih dalam Ajakan Menulis Artikel Orang Tua Hebat dengan tema “Menjaga Kesehatan Mental Ibu Demi Si Kecil” yang diselenggarakan oleh  Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN (2024).

Bagaimana Reaksi anda Tentang Konten Ini?
+1
3
+1
0
+1
0
Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Newsletter Subscribe

Dapatkan Update Terbaru Kami Melalui Email

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x