Stunting adalah satu dari tiga indikator pertumbuhan anak yang paling sering digunakan. Indikator ini didasarkan pada tinggi badan menurut umur dan jenis kelamin. Dua indikator lainnya adalah berat badan terhadap umur dan berat badan terhadap tinggi badan. Stunting didefinisikan sebagai proporsi anak umur bawah lima tahun (balita) yang memiliki tinggi badan terhadap umur di bawah –2SD dari median tinggi badan terhadap umur pada populasi tertentu menurut Standar Pertumbuhan Anak WHO (WHO Child Growth Standards). Stunting merupakan manifestasi utama kekurangan gizi pada anak usia dini, termasuk kekurangan gizi selama perkembangan janin yang dialami oleh ibu yang kekurangan gizi. Stunting merupakan gambaran kekurangan gizi kronis. Sekali stunting terjadi, maka ada kemungkinan untuk terjadi pula pada generasi berikutnya (SEARO, 2016).
Dampak Stunting
Secara global, satu dari empat anak di bawah umur lima tahun menderita stunting. Demikian juga di Indonesia. Nutrisi yang baik penting untuk mendukung pertumbuhan yang pesat dan perkembangan bayi dan anak kecil selama 1000 hari pertama kehidupannya. Tanpa nutrisi yang baik, seorang anak dapat mengalami kerusakan yang serius dan sering terjadi gangguan permanen pada perkembangan otak dan tubuh. Kita tidak dapat melihat secara langsung kerusakan ini namun kita dapat menilainya dengan melihat sebaik apa pertumbuhan anak tersebut. Seorang anak yang tidak tumbuh dengan baik dan terlalu pendek dibandingkan umurnya menderita suatu kondisi yang disebut stunting.
Stunting mengindikasikan bahwa seorang anak gagal untuk berkembang. Hal ini tidak dapat diperbaiki dan terjadi ketika pada anak mengalami malnutrisi kronis pada awal kehidupan mereka. Malnutrisi jenis ini seringkali dimulai sejak dalam kandungan, yaitu pada ibu yang nutrisinya buruk pada waktu hamil. Akibatnya janin tidak mendapatkan makanan bernutrisi yang dibutuhkan untuk mendukung pertumbuhan dan perkembangan sejak dalam kandungan. Hal ini dapat berlanjut setelah persalinan, sebagai akibat pola pemberian makan yang buruk dan sering kali karena terjadinya infeksi dan diet yang buruk. Diet buruk tidak memberikan nutrisi yang dibutuhkan oleh bayi dan anak untuk tumbuh dan berkembang secara normal.
Malnutrisi kronis sangat merusak bagi anak-anak karena perkembangan otak yang terganggu, IQ lebih rendah, sistem imun yang menurun, dan risiko yang lebih besar untuk menderita penyakit serius seperti diabetes dan kanker pada kehidupan kemudian. Efek stunting akan berdampak seumur hidup dan dapat berlanjut dari satu generasi ke generasi berikutnya. Anak perempuan yang terlahir dengan nutrisi yang buruk dan menjadi stunted saat anak-anak sering kali akan tumbuh menjadi ibu dengan nutrisi yang buruk. Ibu ini kemudian akan melahirkan bayi dengan gizi buruk.
Peristiwa tersebut akan berulang dengan sendirinya sehingga menjadi lingkaran setan pertumbuhan anak perempuan yang buruk. Selain berpengaruh pada individu, stunting menjadi beban yang sangat besar terhadap produktivitas dan pertumbuhan ekonomi suatu bangsa. Ahli ekonomi memperkirakan bahwa stunting dapat menurunkan produk bruto suatu negara sebanyak 12% (Richter et al., 2016).
Stunting tidak dapat disembuhkan, namun stunting dapat dicegah. Pada tahun 2012, World Health Assembly mendukung target global stunting untuk menurunkan proporsi anak balita yang stunting pada tahun 2025 sebesar 40 persen dari angka 2012. Walaupun jumlah anak balita stunting secara global sudah menurun dari 255 juta ke 159 juta sejak tahun 1990, namun penurunan tersebut tidak cukup cepat dan masih jauh dari target untuk memenuhi target stunting global.
Di Indonesia, berdasarkan data Studi Status Gizi Indonesia (SSGI) 2021 masih terdapat 5.3 juta (24.4%) anak mengalami stunting. Laju penurunan prevalensi stunting 2015-2019 adalah 0.8% per tahun. Sementara laju penurunan prevalensi stunting yang diharapkan pada 2022-2024 adalah 3.4% tahun. Untuk itu diperlukan upaya bersama guna tercapainya tujuan percepatan penurunan stunting. #CegahStuntingItuPenting
Sumber: Bahan Penyuluhan Bina Keluarga Balita Bagi Kader: 1000 HPK (Hari Pertama Kehidupan) dengan perubahan.
Editor: Ni Komang Yastri A. (Tim PPID Ditbalnak)
artikelnya sangat menarik dan mudah dipahami