Autism Spectrum Disorder (ASD) atau yang lebih sering disebut autisme merupakan gangguan perkembangan saraf. Gangguan tersebut mempengaruhi perkembangan bahasa dan kemampuan seorang anak untuk berkomunikasi, berinteraksi, serta berperilaku. Bukan hanya autisme, ASD juga mencakup sindrom Asperger, sindrom Heller, dan gangguan perkembangan pervasif (PPD-NOS). Perlu diingat bahwa autisme bukanlah penyakit, melainkan kondisi di mana otak bekerja dengan cara yang berbeda dari orang lain.
Anak yang menglami autisme dapat mengalami kesulitan memahami apa yang orang lain pikirkan dan rasakan. Hal ini membuat mereka sulit untuk mengekspresikan diri, baik dengan kata-kata atau melalui gerak tubuh, ekspresi wajah, dan sentuhan. Selain itu, penyandang autisme juga mungkin akan memiliki kendala saat belajar. Keterampilan mereka mungkin berkembang tidak merata. Misalnya ketika penyandang autisme memiliki kesulitan berkomunikasi, bisa saja dirinya sangat pandai dalam seni, musik, memori, hingga matematika. Berdasarkan data yang dihimpun oleh WHO, autisme terjadi pada 1 dari 160 anak di seluruh dunia. Sedangkan, di Indonesia, hingga saat ini belum ada data yang pasti mengenai jumlah penderita autisme.
Epidemiologi autism spectrum disorder (ASD) menunjukkan bahwa gejala-gejala umumnya mulai muncul pada usia 12-24 bulan berupa keterlambatan dalam perkembangan, khususnya interaksi sosial dan bahasa. ASD bisa mengenai semua kelompok ras, etnis, dan sosial-ekonomi. ASD 4 kali lebih banyak ditemukan pada anak laki-laki dibandingkan perempuan. WHO melaporkan rata-rata prevalensi global ASD adalah 1 dari 160 anak. Prevalensi ASD secara global meningkat dari 1% pada tahun 2000-an menjadi 2%. Hal ini terutama akibat perubahan kriteria diagnosis sehingga bisa mengakomodasi gangguan-gangguan yang sebelumnya tidak masuk kriteria ASD. Namun prevalensi ASD di negara-negara berkembang belum diketahui.
Belum ada penelitian terbaru yang secara spesifik mengukur prevalensi ASD di Indonesia. Namun sebuah penelitian intervensi di Yogyakarta menunjukkan angka prevalensi autisme di Sleman Yogyakarta adalah 1 dari 150 anak. Penelitian lain di Pontianak melaporkan prevalensi sebesar 1,28 dari 1000 anak.
Jumlah anak dengan autisme di Indonesia juga sempat disoroti oleh Wakil Menteri Kesehatan RI, dr Dante Saksono Harbuwono, pada sambutan klip video di acara Special Kids Expo (SPEKIX) 2024. Ia menyebut, jumlah anak dengan autisme di Indonesia terus meningkat. Diperkirakan saat ini sekitar 2,4 juta anak Indonesia mengalami gangguan spektrum autism atau ASD. Sementara itu, dokter spesialis anak dr Bernie Endyarni Medise, SpA(K), MPH memperkirakan angka kelahiran anak di Indonesia mencapai 4,5 juta per tahun. Dari angka tersebut, 1 di antara 100 anak mengidap autism spectrum disorder (ASD).
Meningkatnya jumlah anak dengan autisme menjadi tantangan yang signifikan bagi Indonesia kedepannya. Hal ini membutuhkan pendekatan yang kompleks dan terpadu dalam memberikan perhatian dan dukungan kepada anak-anak autisme serta keluarga mereka. Tantangan utamanya termasuk akses yang terbatas terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan khusus bagi anak-anak dengan kebutuhan khusus, kurangnya pemahaman masyarakat tentang autisme, serta kurangnya sumber daya dan dukungan bagi keluarga yang memiliki anak dengan autisme.
Meskipun begitu, ASD tidak berhubungan langsung dengan risiko mortalitas atau kematian. Risiko kematian berhubungan dengan risiko mengalami cedera misalnya tenggelam, masalah kesehatan fisik, neurologis, dan komorbiditas gangguan mental. Pasien dengan ASD juga mengalami peningkatan risiko untuk melakukan upaya bunuh diri, baik dengan ataupun tanpa komorbiditas gangguan mental lainnya. Komorbiditas gangguan mental yang berhubungan dengan risiko bunuh diri yang lebih tinggi adalah gangguan mood dan penyalahgunaan zat adiktif.
Tidak ada penanganan autisme untuk menyembuhkan penyakit autism tersebut. Namun, ada berbagai tata laksana untuk membantu pengidapnya agar mereka dapat menyesuaikan diri, dan mampu mengembangkan potensi dalam diri. Tindakan penanganan pada setiap penyandang autisme bisa berbeda-beda. Penanganan yang dokter berikan pada pengidap umumnya berupa terapi bagi anak yang mengalami autisme.
Menurut Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), anak dengan autisme membutuhkan konsultasi ahli dari berbagai disiplin ilmu. Meski tak semua pengidap memerlukan terapi obat, tetapi mereka membutuhkan intervensi non-obat. Langkah tersebut berupa sekolah dan pembinaan kemampuan mandiri dan kemampuan bekerja. Langkah ini dilakukan oleh dokter saraf anak dan dokter rehabilitasi yang bekerjasama dengan terapis.
Penentuan intervensinya akan ditentukan berdasarkan usia, intensitas gejala, dan kemampuan intelektual pengidap. Berikut adalah beberapa pilihan metode terapi umum untuk pengidap:
- Terapi perilaku dan komunikasi
Terapi ini akan memberikan sejumlah pengajaran pada pengidap autisme, termasuk kemampuan dasar sehari-hari, baik verbal maupun nonverbal. Berikut adalah beberapa jenis contoh dari terapi perilaku dan komunikasi:
- Analisis perilaku terapan (ABA/Applied Behavior Analysis), untuk meningkatkan perilaku positif dan mencegah perilaku negatif pada anak yang mengalami autisme.
- Terapi okupasi, yang bertujuan untuk membantu keterampilan hidup seperti berpakaian, makan, dan berhubungan dengan orang lain.
- Terapi wicara, untuk meningkatkan keterampilan komunikasi pada anak yang mengalami autisme.
- Kelompok keterampilan sosial, untuk melatih keterampilan sosial agar anak yang mengalami autism tetap dapat berinteraksi dengan orang lain.
- Terapi integrasi sensorik, guna membantu seseorang yang memiliki masalah dengan sentuhan atau pemandangan atau suara yang biasanya dialami oleh anak yang mengalami autism.
- Relationship development intervention (RDI) melibatkan aktivitas yang meningkatkan motivasi, minat, dan kemampuan untuk berpartisipasi dalam interaksi sosial bersama.
- Terapi keluarga
Terapi ini bertujuan untuk orang tua dan keluarga pada anak yang mengalami autisme. Tujuannya adalah agar keluarga bisa belajar cara berinteraksi dengan anak yang mengaami autism serta dapat mengajarkan anak untuk berbicara serta berperilaku secara normal. Keluarga memiliki peranan yang sangat penting untuk melatih dan menstimulais tumbuh kembang anak yang mengalami autisme.
- Terapi dengan pemberian obat-obatan
Langkah ini bertujuan untuk mengendalikan gejala bagi anak yang mengalami autisme. Tergantung dari tanda yang terjadi pada anak, dokter akan merekomendasikan beberapa jenis obat, contohnya:
- Melatonin untuk mengatasi masalah tidur.
- Obat antikejang untuk mengatasi kejang.
- Obat antipsikotik untuk mengatasi masalah perilaku.
- Antidepresan untuk meredakan depresi.
Hingga saat ini belum ada cara tepat untuk mencegah terjadinya autism pada anak. Maka dari itu, langkah awal yang harus orang tua lakukan apabila anak mengalami gejala kelainan autsime adalah dengan segera melakukan konsultasi pada dokter. Sebab, penanganan yang sedini mungkin dapat membantu anak memiliki kehidupan yang lebih baik. Dengan begitu, anak tetap bisa beraktivitas seperti orang normal lainnya.
Karena penyebabnya belum diketahui, autisme sulit untuk dicegah. Namun, dokter dapat menganjurkan ibu hamil untuk melakukan upaya-upaya berikut sebagai upaya mengurangi risiko anak terlahir dengan autisme:
- Menjalani pola hidup sehat, misalnya dengan menjalani pemeriksaan kehamilan secara berkala, mengonsumsi makanan bergizi seimbang, dan berolahraga secara rutin
- Menghindari konsumsi minuman beralkohol selama masa kehamilan
- Menghindari paparan polusi dan zat kimia berbahaya
- Berkonsultasi dengan dokter jika perlu mengonsumsi obat-obatan tertentu selama masa kehamilan
- Memastikan sudah mendapatkan vaksin sebelum hamil, terutama vaksin rubella
- Menjalani pemeriksaan dan mengikuti saran dokter jika terkena penyakit, terutama jika didiagnosis menderita penyakit celiac atau fenilketonuria (PKU)
Sumber :
https://www.alomedika.com/penyakit/kesehatan-anak/autism-spectrum-disorder/epidemiologi
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/1631/autisme
https://www.alodokter.com/autisme/pencegahan
Devy Marini, S.KM
Epidemiolog Kesehatan Ahli Pertama
Dinas Kesehatan Kota Banjar
Tulisan ini merupakan artikel terpilih dalam Ajakan Menulis Artikel Orang Tua Hebat dengan tema “Mengenal Anak dengan Autisme : Bagaimana Stimulasi Perkembangannya?” yang diselenggarakan oleh Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN (2024).