SUARAKARYA.ID: Audit kasus stunting yang rutin digelar Badan Kependudukan dan Keluarga Berencana Nasional (BKKBN) bersama kepala daerah serta tim percepatan penurunan stunting diharapkan mampu melakukan hingga tingkat keluarga.
Hal itu disampaikan Kepala BKKBN Dr (HC) dr Hasto Wardoyo SpOG (K) saat membuka Coaching Audit Kasus Stunting Sesi VI, yang digelar secara daring, dari Jakarta, Kamis (10/11/2022) .
Audit kasus stunting ini, diikuti oleh ratusan peserta dari seluruh daerah di Indonesia. Turut hadir dalam kegiatan ini Deputi Bidang Keluarga Sejahtera dan Pemberdayaan Keluarga (KSPK) BKKBN Nopian Andustri SE MT, Wakil Walikota Binjai Rizky Yunanda Sitepu, serta Wakil Bupati Konawe Selatan Rasyid.
Baca Juga: Jamsostek, Bantalan Pekerja Agar Tidak Jatuh ke Jurang Kemiskinan
“Kalau di tingkat keluarga itu ternyata ditemukan kasus TB (Tuberkulosis), yang bisa menularkan atau misalnya HIV, sehingga ternyata by problemnya itu,” kata Hasto.
Inilah, lanjutnta, pentingnya audit kasus stunting. Bisa juga dari audit kasus stunting ini sebabnya sering diare.
Lalu ditelusur apakah yang sering diare keluarga itu saja atau tetangga lain juga. Kalau pada diare mungkin lingkungannya, sehingga rekomendasinya perbaikan jamban.
“Tapi, khusus anak ini ada treatmen khusus apa. Sehingga, dokter anak atau ahli yang lainnya memberikan treatmen yang sering diare dikasih apa kemudian lingkungannya diapakan,” terang Hasto.
Dia menjelaskan, audit kasus stunting jangan dimaknai sebagai audit yang sifatnya manajerial. Hal ini ditegaskannya, lantaran masih banyak terjadi kesalahpahaman. Audit kasus stunting dimaknai dengan rapat koordinasi oleh para pemangku kepentingan.
Sebetulnya, mereka lebih bicara soal kebijakan. Tapi, audit kasus stunting adalah dilakukan oleh para praktisi, para profesi serta dilakukan para ahli, konsultan dan sebagainya.
“Untuk audit kasus stunting di wilayah bapak ibu sekalian, sehingga base on kasus. Makannya kita sebut audit kasus stunting,” ujarnya.
Hasto menilai, perlunya bantuan ahli dalam audit kasus stunting adalah untuk menggali permasalahan kasus stunting. Yang tidak diketahui penyebabnya seperti apa.
Ketika ditemukan masalah stunting di sebuah wilayah, maka tim audit stunting bisa segera bergerak. Untuk mendata dan menyampaikannya kepada ahli, agar segera mendapat rekomendasi.
“Itu yang kita susur lebih dulu jadi kita tidak diskusi tentang dia keluarga miskin, lingkungan jauh deri akses. Tspi, yang kita diskusikan sebetulnya kenapa panjang badan tidak naik, mungkin karena nafsu makan kurang, kenapa nafsu makan kurang mungkin kena TBC, kenapa kena TBC mungkin karena tidak imunisasi, ” jelasnya.
Sehingga, imbuhnua, hal-ha itu bisa ditelusuri oleh ahlinya. Ada dokter anak, ahli tumbuh kembang, sehingga akhirnya ketemu anak ini masalahnya apa.
Lebih jauh Hasto menambahkan, pada beberapa kasus mengenai stunting, banyak yang mengartikan bahwa anak dengan _done syndrome_ masuk dalam kategori anak stunting. Padahal secara medis, _done syndrome_ adalah kelainan, yang menyebabkan anak dilahirkan dengan kromosom yang berlebih atau kromosom ke-21.
“Karena dia ada permasalahan tersendiri tidak bisa kita kelompokan dalam stunting. Karena, stunting bayi harusnya lahir atau dalam kandungan dia punya potensi normal bukan ada kelainan genetik. Tapi, karena salah urus dalam seribu hari pertama kehidupan akhirnya jadilah dia gagal tumbuh secara fisik, intelektual dan kesehatan,” ungkap Hasto.
Kendati demikian, Hasto minta agar catatan dalam audit kasus stunting tidak disebarluaskan kepada masyarakat seperti audit pada umumnya. Sebab, hal itu menyangkut soal kode etik dan rahasia individu.