Manusia hidup sebagai makhluk sosial. Sudah semestinya jika setiap individu memberikan sesuatu yang positif bagi masyarakat dan lingkungan. Wujud sesuatu yang positif beraneka ragam, menjadi seorang dermawan tidak harus dengan materi. Berbagi pengalaman hidup merupakan salah satu potret positif untuk memahami realita.

Perjalanan hidup yang diceritakan oleh orangtua atau keluarganya, tentu menjadi khasanah baru yang menjelma jadi motivasi. Seperti kisah yang ditulis ibu Frida Kusumastuti yang dituangkannya dalam sebuah buku, diterbitkan pada 2013.

Ia berbagi kisah kehidupan keluarganya di mana salah seorang anaknya autis. Beliau sengaja ingin menceritakan suka dan duka kehidupan bersama anak penyandang autis.

Di Indonesia anak-anak penyandang autis masih kurang diperhatikan. Hal ini dapat dilihat terutama dari fasilitas pendidikan bagi mereka. Sementara dalam kehidupan sosial, pemahaman masyarakat masih cukup minim akan penyandang autis. Dan yang paling memprihatinkan ketika keluarga sendiri menganggap anaknya yang autis tidak perlu diberikan hak-haknya seperti anaknya yang lain.

Penyandang autis tidak diperbolehkan bergaul dan bersosialisasi di lingkungannya, serta dikekang seperti laiknya “penjara rumah” karena mempermalukan keluarga. Anggapan seperti inilah yang akan melemahkan semangat dan dirinya merasa direndahkan di keluarga dan masyarakat.

Keluarga enggan memberikan prioritas kepada kerabatnya yang autis dengan berbagai alasan. Bentuk empati yang diberikan oleh manusia yang satu dan lainnya berbeda-beda. Penyandang autis dianggap tidak bisa melakukan apa-apa. Padahal setiap individu manusia memiliki kecerdasan yang antara satu dengan yang lainnya. Di balik “keistimewaannya” berjuta potensi yang tidak dimiliki oleh mereka yang -katanya- orang normal. Seperti Albert Einstein dan penemu listrik Thomas Alfa Edison.

Karena stigma yang keliru, penyandang autis jadi lemah dan kurang diperhatikan. Anggapan-anggapan yang tidak menyenangkan tersebut membuat ia semakin hari semakin tertekan. Lebih banyak berdiam di rumah, dan menghabiskan hari dengan berdiam.

Memahami mereka
Autis. Mungkin kata tersebut masih terasa asing di telinga kita. Seperti apa anak penyandang autisme itu, tak banyak orang yang memahaminya. Dalam bukunya Bu Frida menjelaskan bahwa, “Anak yang menyandang autisme, paling menyolok bisa dilihat dari penghindarannya pada kontak mata dengan orang lain, perilakunya yang ritual atau berulang-ulang, serta sangat kentara berorientasi pada dirinya sendiri” (2013:63).

Perjalanan kehidupan bersama keluarga pasti memiliki keunikannya tersendiri, termasuk dengan seorang anaknya penyandang autis. Duka dan suka saling berganti. Hadir pula optimis turut mewarnai. Bahkan kegalauan pun hinggap yang digantinya dengan semangat. Karena menyadari dianggapnya autisma bukanlah akhir segalanya.

Berangkat dari keluarga, kekuatan dan kesadaran terus dibangun. Karena dengan kekuatan yang tersembunyi mampu memosisikan penyandang autis pada kedudukan yang semestinya. Pendampingan dan semangat bukan peran orangtua saja, namun keterlibatan pula peran anggota keluarga lainnya.

Teguh Pamungkas

Penyuluh KB

Perwakilan BKKBN Provinsi Kalimantan Selatan

Tulisan ini merupakan artikel terpilih dalam Ajakan Menulis Artikel Orang Tua Hebat dengan tema “Mengenal Anak dengan Autisme : Bagaimana Stimulasi Perkembangannya?” yang diselenggarakan oleh  Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN (2024).

Bagaimana Reaksi anda Tentang Konten Ini?
+1
1
+1
0
+1
0
Facebook
WhatsApp
Twitter
LinkedIn
Pinterest
Subscribe
Notify of
guest
0 Comments
Inline Feedbacks
View all comments

Newsletter Subscribe

Dapatkan Update Terbaru Kami Melalui Email

0
Would love your thoughts, please comment.x
()
x