Tidak ada orang tua yang tidak marah bila dikatakan menelantarkan anak. Suatu ketika saya bertemu dengan pasangan suami istri yang merantau untuk bekerja sementara anak-anak mereka dititipkan pada orang tuanya di kampung halaman. Ketika bermalam di desa dampingan, saya juga pernah melihat orang tua yang berangkat subuh ke ladang meninggalkan anak-anak mereka yang bahkan belum bangun tidur dan pulang kembali ke rumah saat sudah hampir petang. Pernah juga saya melihat pasangan suami istri muda yang sibuk sendiri dengan handphone mereka seharian dan membaringkan anak mereka di depan televisi agar tenang.
Apakah mereka melakukan penelantaran anak?
Selama ini banyak dari kita yang beranggapan bahwa menelantarkan anak adalah ketika hanya orang tua meninggalkan dan tidak peduli pada anak tersebut. Namun, pada Undang-Undang No. 35 Tahun 2014 Ayat 1 tentang perlindungan anak menjelaskan bahwa seorang anak dikatakan terlantar apabila anak tersebut tidak terpenuhi kebutuhan dasarnya dengan wajar, baik secara rohani, jasmani, maupun sosial.
Berdasar undang-undang tersebut, penelantaran bukan hanya terjadi karena ditinggalkan oleh orang tua, tetapi terjadi ketika seorang anak tidak mendapatkan hak kebutuhan dasarnya secara wajar. Orang tua yang bekerja merantau atau bekerja seharian di kantor tetapi tetap memenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak-anaknya tentu tidak disebut sebagai pelaku penelantaran anak.
Kebutuhan jasmani adalah kebutuhan yang berkaitan dengan raga atau tubuh kita seperti kebutuhan makan dan minum, pakaian, tempat tinggal dan olahraga. Kebutuhan rohani adalah segala hal yang dibutuhkan oleh jiwa agar dapat memperoleh kebahagiaan, seperti berkumpul bersama keluarga dan teman, beribadah, pendidikan, dan kebutuhan terhadap hiburan. Sedangkan, kebutuhan sosial adalah kebutuhan kebersamaan yang berkaitan dengan manusia sebagai makhluk sosial, seperti merasa aman, merasa nyaman, dilindungi dan sejahtera. Anak memiliki hal untuk mendapatkan ketiga jenis kebutuhan tersebut untuk dapat hidup layak. Jadi bukan hanya salah satunya saja.
Sejak kapan anak berhak mendapatkan kebutuhan-kebutuhan tersebut?
Merujuk pada definisi anak yang disebutkan dalam Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014, anak adalah seseorang yang belum berusia 18 tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan. Dari definisi tersebut, jelaslah bahwa bayi yang masih dalam kandungan juga harus dipenuhi haknya sebagai anak. Penelantaran anak khususnya pada saat masih dalam kandungan hingga berusia 2 tahun inilah yang menjadi fokus BKKBN pada saat ini khususnya dalam upaya percepatan penurunan angka stunting di Indonesia.
Pemenuhan kebutuhan jasmani, rohani dan sosial anak sedari kandungan dalam masa 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK) menjadi penentu masa depan anak saat dewasa.
Pentingnya pemenuhan kebutuhan jasmani pada anak
Kebutuhan nutrisi yang cukup dan seimbang akan berdampak pada tumbuh kembang anak. Masa 1000 HPK adalah masa tumbuh kembang pesat bagi anak yang apabila anak mengalami kekurangan gizi pada masa ini dan kondisi tersebut tidak segera diperbaiki maka anak tersebut beresiko mengalami stunting. Oleh karena itu, jika ada pasangan yang ketika masa kehamilan tidak memenuhi nutrisi dan tidak peduli pada kesehatan saat hamil, kemudian ketika bayi lahir pun tidak diberikan nutrisi sesuai dengan usia dan kebutuhan bayi, maka orang tua tersebut telah melakukan penelantaran terhadap anak.
Bagaimana cara memenuhi kebutuhan rohani dan sosial terhadap anak dalam masa 1000 HPK?
Untuk dapat tumbuh dan berkembang dengan baik dan maksimal sesuai usia, seorang anak juga membutuhkan kasih sayang, perlindungan, rasa aman dan nyaman serta stimulasi pertumbuhan dan perkembangan. Pemenuhan kebutuhan ini juga dimulai sedari anak masih dalam kandungan. Pada saat hamil, seorang ibu membutuhkan dukungan dari lingkungan sekitarnya agar dapat merasa bahagia dan disayangi. Perasaan tersebut juga akan dirasakan oleh janin didalam kandungan. Rasa cemas, sedih, takut, depresi atau keadaan emosional buruk lainnya pada ibu hamil akan ikut mempengaruhi perkembangan neurobehavioral (gangguan yang berkaitan dengan masalah pada otak) janin, juga berpengaruh pada detak jantung hingga sistem saraf pusat pada janin, yang berpengaruh hingga masa kanak-kanak dan remaja. Hasil penelitian menyebutkan bahwa peningkatan detak jantung yang lebih besar pada masa bayi memprediksi peningkatan perilaku ketakutan dan peningkatan gangguan kecemasan pada anak usia sekolah. Perasaan yang dirasakan oleh ibu hamil menular pada janin, oleh karena itu, pemenuhan kebutuhan rohani dan sosial pada anak harus dimulai sejak masih berada dalam kandungan.
Setelah lahir bayi perlu diberikan rangsangan agar kemampuannya berkembang. Orang tua dapat memberikan rangsangan sesuai usia dan tahap perkembangan. Terdapat sedikitnya empat perkembangan bayi yang butuh dirangsang perkembangannya, yaitu: perkembangan motorik, perkembangan kognitif, sosial dan emosional. Rangsangan yang dapat diberikan sejak bayi lahir antara lain dengan merangsang semua sistem indera (pendengaran, penglihatan, perabaan, pengecapan, serta pembauan), mengajak bayi berbicara (hal ini bahkan dapat dilakukan sejak masih dalam kandungan), melatih bayi menggenggam, dan rangsangan yang terus ditingkatkan sesuai tahapan pertumbuhan bayi. Kegagalan perkembangan anak pada masa 1000 HPK akan sulit diperbaiki setelah periode emas pertumbuhan dan perkembangan anak tersebut.
Anak yang terpenuhi kebutuhan jasmani, rohani dan sosialnya tentu akan tumbuh dan berkembang dengan baik sesuai tahapan tumbuh kembangnya. Anak-anak inilah yang nantinya akan menjadi generasi emas yang menjadi harapan Indonesia pada puncak bonus demografi tahun 2045 kelak. Hal tersebut merupakan tugas kita semua untuk peduli dan ikut serta memastikan tidak ada lagi anak di lingkungan kita yang terlantar. Salah satu cara yang dapat kita tempuh adalah dengan berupaya untuk menjalankan delapan fungsi keluarga, yaitu fungsi keagamaan, fungsi sosial budaya, cinta kasih, perlindungan, reproduksi, sosialisasi dan pendidikan, ekonomi dan pembinaan lingkungan.
Perubahan dimulai dari unit terkecil dalam masyarakat, yaitu keluarga akan berdampak pada negara. Penelantaran anak yang seringkali tidak kita sadari bukan hanya akan merugikan anak dan keluarga tapi secara luas akan merugikan negara. Karena anak adalah generasi penerus masa depan bangsa, maka tugas kita bersama adalah memastikan kebutuhan dasar anak terpenuhi secara wajar, terhindar dari kondisi stunting dan penelantaran.
Referensi:
Indonesia. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak. Lembaran RI Tahun 2014 Nomor 297. Sekretariat Negara. Jakarta.
Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak. (2017). Penanaman dan Penerapan Nilai Karakter Melalui 8 Fungsi Keluarga. Jakarta. BKKBN.
https://www.ncbi.nlm.nih.gov/pmc/articles/PMC3710585/ diakses pada 16 Juli 2023.
https://yankes.kemkes.go.id/view_artikel/751/tugas-perkembangan-anak-dan-stimulasinya diakses pada 16 juli 2023.
Profil Penulis
Nofi Ariyanto, S.Pd.
Penyuluh Keluarga Berencana
Perwakilan BKKBN Kalimantan Barat
___
Tulisan ini merupakan artikel terpilih dalam Ajakan Menulis Artikel Orang Tua Hebat dengan tema “Penelantaran Anak dan Stunting” yang diselenggarakan oleh Direktorat Bina Keluarga Balita dan Anak BKKBN (2023).